ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Belajar Memahami Papua di Jogja

Marzuki Mohamad oleh Marzuki Mohamad
17 Juli 2016
0
A A
Belajar Memahami Papua di Jogja

Belajar Memahami Papua di Jogja

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Pada suatu hari di musim kemarau 2015 yang panjang, tanggal dan bulan persisnya aku lupa, yang pasti ketika itu kami sedang persiapan shooting AADC2, aku berangkat dari rumahku menuju Jogja. Tidak seperti hari-hari biasanya di mana aku menyusuri jalanan kecil dari desaku menuju kota Jogja dalam kesendirian, kali ini ada yang menemaniku, seorang teman yang tadi malam tidur di rumahku. Sayangnya cowok. Tapi maaf jika aku tidak bisa menyebutkan nama temanku tersebut.

“Menurutmu masalah Papua gimana, Mas?”

Mendadak temanku yang ganteng ini bertanya kepadaku. Aku terdiam sebentar, kaget.

“Hmm… Oke, kita akan diskusi masalah itu?” Tanyaku kepadanya memastikan.

“Ya, diskusi santai saja…”

Jawab sahabatku sambil melihat hamparan luas tanaman tembakau yang sebentar lagi panen. Kemarau panjang memang cocok untuk menghasilkan daun tembakau terbaik.

“Rumit… Menurutku referendum saja, sih!” Aku menjawab singkat dan sekenanya. Otakku belum panas buat diajak berdiskusi.

“Iya, aku juga berpikir begitu. Kita (Indonesia–red) enggak ngerti mereka sebenarnya,” sahut sahabatku.

“Ngerti mungkin, tapi ngerti saja tidak cukup, kita sama sekali tidak paham, kita tidak pernah memahami mereka.” Diskusi mulai panas.

“Iya, betul, memahami… Tanpa memahami, Indonesia tidak pernah bisa memberikan keadilan bagi Papua, kasihan…”

“Jelas-jelas identitas kita berbeda, dari warna kulit hingga kebudayaannya sangat jauh berbeda. Ini bukan rasis, lho. Tapi aku belum pernah tinggal di Papua dan tidak paham kebudayaan mereka seperti apa.” Aku mulai bisa berbicara sedikit panjang lebar.

Seperti hubungan asmara, pemahaman itu penting. Tanpa pemahaman, persatuan dan kesatuan adalah semu, untuk tidak mengatakan dipaksakan.

Semboyan bangsa Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua, itu juga utopis. Kalau berbeda, ya, berbeda saja, kemudian bagaimana usaha kita menghargai perbedaan itu, tidak harus dipaksakan jadi satu. Google Translate saja bingung dengan Bhineka Tunggal Ika, terjemahan yang muncul Culturally Diverse.

“NKRI itu absurd, seperti konsep yang dipaksakan.”

Temanku melanjutkan diskusi sambil membuka jendela mobil untuk menyalakan kretek.

“Iya, aku juga tidak paham sama konsep NKRI, tidak ngerti apa yang dipikirkan para pendiri bangsa waktu itu,” sahutku menyetujui.

Jika ada orang lain yang mendengar, atau pembaca tulisan ini, sepertinya diskusi saat itu hanya permukaan saja. Akan tetapi, kami berdua tampaknya sepakat bahwa kami punya referensi yang sama tentang berbagai masalah Papua, yakni sejak presiden Soekarno mencetuskan Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada tahun 1961, yang intinya memerintahkan dilakukannya mobilisasi umum untuk menghancurkan negara Papua yang disponsori Belanda dan merebutnya agar menjadi bagian dari NKRI.

Sejarah Papua semakin kelam setelah rezim Orde Baru berkuasa. Kemudian pada tahun 1967, Freeport, yang kemarin mensponsori ART|JOG|9 itu, masuk ke Timika untuk mengeruk kekayaan tanah Papua.

Kami menghentikan diskusi karena perjalanan kami sudah sampai di Rumah Makan Sabar Menanti. Tak lama setelah memesan makanan empal sambel trasi favorit, diskusi kembali berlanjut.

“Ya mungkin tidak masalah sih NKRI, asal keadilan dan kesejahteraan itu benar-benar terwujud,” sambil mengaduk es teh, temanku menyambung diskusi kami.

“Iya, sebagaimana cita-cita negara ini berdiri. Tanpa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, NKRI itu omong-kosong,” aku menimpali seperti seorang rapper yang sedang membaca UUD 45.

Diskusi kami mendadak berhenti ketika pesanan empal sambel trasi favorit datang. Bau ramuan sambel trasinya membuat dinding-dinding mulut mengeluarkan air liur dengan derasnya bahkan sebelum ditandaskan.

“Beginilah orang Jawa, kalau sudah ada hidangan di meja, seketika diskusi sepenting apapun bisa berhenti dan lupa solidaritas,” kelakar temanku sedikit tidak jelas karena mulutnya mulai dipenuhi makanan.

“Hahaha… Iya, begitulah, Indonesia itu jahat sama Papua,” sahutku sarkas. Kalimat itu menjadi kalimat terkahir diskusi kami yang kian heboh melahap empal sambel trasi RM Sabar Menanti.

Semenjak diskusi itu, aku sering stalking beberapa akun sosial media yang berhubungan dengan kemerdekaan Papua. Kalau di Twitter, ada akun @FreeWestPapua, mereka memang sedang gencar kampanye menggalang dukungan untuk referendum, terutama ke negara-negara serumpun Melanesia; Vanuatu, Fiji, Salomon Island, Papua New Guinea.

Jika ada jajak pendapat buat wong Jogja, yang daerahnya banyak dihuni oleh pelajar Papua, hingga saking banyaknya ada sebutan bahwa Jogja adalah rumah kedua bagi orang Papua, kebanyakan wong Jogja pasti akan berpikir bahwa mau referendum atau merdeka, ya terserah saja, itu hak mereka. Tentu saja aksi referendum tersebut sekaligus komplit dengan segala risiko perjuangannya.

Ironisnya, bahasa kekuasaan melalui represi militer masih menjadi satu-satunya cara negara menangani tindakan tersebut. Belum ada inisiasi negara untuk segera membuka ruang dialog dengan warga Papua.

Karena banyaknya warga Papua di Jogja, maka logikanya, apapun perubahan sosial dan politik yang terjadi di Papua pasti berimbas ke Jogja. Repotnya, saat ini, Jogja sedang ‘hamil tua’ dengan segala masalah domestiknya.

Aku sebutkan dua saja. Pertama, cita-cita keistimewaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ternyata belum (untuk menghindari kata ‘tidak’ atau ‘bohong’) terwujud. Kedua, suksesi keraton yang meresahkan warga, ongkos politiknya pasti akan mahal banget, tapi akan lebih mahal ongkos kebudayaannya. Terlalu mahal…

Tahun 2011, ketika kisruh Ahmadiyah di Indonesia memanas, Sultan berani mengeluarkan pernyataan; (kaum) Ahmadiyah boleh hidup di Jogja. Tentu saja hal itu menentramkan warga. Tapi sekarang hal-hal yang bikin ayem semacam itu semakin minim terjadi, “Tangan Raja” jarang hadir di masyarakat untuk segala masalah yang dihadapi.

Wong Jogja bingung? Iya. Dalam situasi kebingungan semacam itu, wajar jika Jogja sedang tidak mampu menjadi tuan rumah yang baik.

Segala pergesekan antara orang Papua di Jogja dan warga lokal, baik dan buruk, terekam dalam benak masing-masing. Sementara yang menjadi berita selalu hanya masalah yang berbau politik, Bintang Kejora dan Papua Merdeka, sedangkan kasus kriminal biasa jarang jadi santapan media, apalagi media nasional. Tapi warga Jogja yang merasakan dampaknya.

Tidak gampang berpikir jernih di tengah situasi kisruh jika kita tidak paham. Tapi tidak paham juga enggak apa-apa sih asalkan diam. Terlebih malah mengadili dan ikut menyebarkan berita hoax yang meresahkan.

Prambanan, 16 Juli 2016

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: JogjaKeratonPapuaPapua Merdekareferendum
Iklan
Marzuki Mohamad

Marzuki Mohamad

Artikel Terkait

Orang desa kuliah di kampus Jogja, merasa terintimidasi kalau ngopi di coffee shop karena nggak punya outfit skena MOJOK.CO
Ragam

Derita Orang Kampung Kuliah di Jogja Utara: Kaget Ngopi di Coffee Shop, “Terhina” karena Tak Paham Menu dan Tak Punya Outfit Skena

10 Juni 2025
Universitas Mercu Buana Yogyakarta Kampus yang Menyedihkan MOJOK.CO
Esai

Kuliah di Universitas Mercu Buana Yogyakarta Sungguh Merana, Sudah Habis Puluhan Juta tapi Fasilitas Tidak Ramah Mahasiswa

9 Juni 2025
Terminal Bungurasih. MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Pertama Naik Bus di Terminal Bungurasih Masih Menakutkan karena Calo, tapi Masih Ada yang Lebih Seram dari Itu

7 Juni 2025
Raja Ampat, Amazon Laut Papua Rusak karena Tambang Nikel MOJOK.CO
Esai

Anak Muda Raja Ampat Menantang Tambang Nikel: Ketika Tambang Nikel Merusak Amazon Laut Milik Rakyat Dunia

5 Juni 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar




Terpopuler Sepekan

Fakultas Ilmu Administrasi UI.MOJOK.CO

Fakultas Ilmu Administrasi UI Dianggap “Redflag” Gara-gara Ulah Mahasiswanya, Benarkah Demikian?

9 Juni 2025
Berkah Waisak 2025 bagi Candi Borobudur Magelang MOJOK.CO

Berkah yang Terasa dari Waisak 2025 di Candi Borobudur

11 Juni 2025
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UNY terancam DO. MOJOK.CO

Nyaris Drop Out karena Terhambat Profesor yang Menyebalkan Saat Skripsi, Akhirnya Raih Gelar S1 Ilmu Sejarah di Semester 14

10 Juni 2025
Tak Berniat Jadi Penulis, Tapi Hidup Berubah Karena Menulis | Semenjana Eps. 16

Tak Berniat Jadi Penulis, Tapi Hidup Berubah Karena Menulis | Semenjana Eps. 16

10 Juni 2025
Yamaha Xeon sebagai motor terbaik. MOJOK.CO

14 Tahun Pakai Yamaha Xeon, Motor Butut yang Kuat Menerjang Jalanan Terjal Tasikmalaya ke Pantai Pangandaran

13 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.