ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Madura Swasta vs Madura Ori

Kim Al Ghozali oleh Kim Al Ghozali
12 April 2016
0
A A
madura swasta
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

Apa yang terlintas dalam benak sampeyan ketika mendengar kata ‘Madura’? Sate, pedagang barang bekas, mur dan baut Suramadu yang hilang , manusia tempramental, carok atau penyair Zawawi Imron? Betul, bisa saja yang terlintas demikian, semua yang disebut memang identik dengan Madura. Tapi ada satu hal lagi yang sangat identik dengan Madura, yaitu Pak Sakera (catat, Sakera, bukan Shakira yang waka waka).

Selain ‘Karapan Sapi’, Pak Sakera juga sangat melegenda dan acap dianggap menjadi simbol Madura: Seorang lelaki berkumis tebal, memakai udeng, kaos bergaris horisontal merah putih, dan kerap berpose sambil mengacungkan clurit.

Jika sampeyan tengah jalan-jalan di daerah Jawa Timur lalu menemukan poster yang ditempel di tembok atau lukisan mural pinggir jalan dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan di atas, itulah Pak Sakera, si mandor perkebunan tebu dari kota kecil barat Pasuruan, Bangil, pada masa penjajahan Belanda.

Dengan clurit di tangan dan kebengalannya—karena harga dirinya diinjak-injak—ia membuat bule-bule dari negara Kincir Angin kewalahan. Tak salah jika kemudian Pak Sakera adalah representasi (maskulinitas) Madura.

Tapi, sebentar, kok justru orang Pasuruan menjadi simbol Madura?

Memang aneh kedengarannya, sebab secara geografis, Pasuruan dan Madura jaraknya relatif jauh, lebih-lebih dengan kota Sumenep sebagai pusat kebudayaan Madura. Pasuruan dengan kotanya penyair M Faizi itu berjarak kurang lebih 250 KM. Namun, meski jauh dalam jarak, kedua kota tersebut tetap dekat secara emosional dan kultural.

Pasuruan, sebagaimana kota-kota di bagian timur (dikenal juga dengan istilah wilayah ‘Tapal Kuda’) Jawa Timur yang meliputi Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang dan sebagian Banyuwangi, memang lebih dekat dan lebih lekat dengan budaya Madura ketimbang Jawa, meski secara geografis letaknya berada di pulau Jawa. Ini berkaitan dengan sejarah perpindahan orang Madura pada dahulu kala.

Maka, jangan heran ketika ada orang bertanya, “dari mana asalnya, Mas?” lalu dijawab “Probolinggo”, balasan selanjutnya sudah pasti bisa ditebak: “O, Madura, ya?”. Atau ketika sampeyan pergi ke Jakarta atau Bali, atau di mana saja, lalu makan di warung sate Madura dan bertanya ke penjualnya, “Madura mana, Pak?” lalu dijawab “Jember”, Anda tak perlu lagi bingung memikirkan sejak kapan Jember masuk Madura.

Persis di sinilah letak fungsi budaya dan bahasa. Seperti bunyi pepatah Melayu itu, “bahasa menunjukkan bangsa”. Seseorang dapat dikatakan sebagai Madura tanpa harus mendiami pulau Madura, namun cukup dengan berbahasa dan berbudaya Madura saja. Pas sudah!

Orang-orang yang mendiami wilayah ‘Tapal Kuda’ ini: Pasuruan, Probolinggo, sampai Banyuwangi, biasa dirangkum dengan sebutan orang ‘Pendalungan’, atau ‘Madura Pendalungan’. Namun, tak sedikit pula dari mereka yang berkelakar menyebut dirinya sebagai ‘Madura Swasta’.

Sebutan yang terakhir tadi kerap muncul dari orang-orang yang saya duga tidak pede dengan budayanya sendiri, tidak memahami sejarah tanah airnya, dan terlebih lagi tidak pernah memegang clurit. Ya, clurit, senjata yang berbentuk tanda tanya itu.

Dan juga, para ‘Madura Swasta’ itu tadi biasanya mati-matian menggunakan bahasa Jawa dalam setiap tuturnya untuk menghilangkan jejak orisinil ke-Madura-annya. Meski pada akhirnya tetap saja gagal lantaran aksen te satte dan tellok lema’-nya terlalu kental.

Padahal, jika kita mau sedikit lebih sportif, ‘Madura Swasta’ itu sebenarnya tidak ada. Semua Madura itu ori, asli, sebab letak geografis bukanlah penentu sebuah identitas.

Sebagaimana kita mengatakan orang Australia atau New Zealand itu orang barat, meski letaknya dari posisi kita tidak berada di barat. Atau menyebut orang Turki sebagai orang Timur, padahal negaranya saja terletak di Eropa.

Lalu apa yang membedakan ‘Madura Swasta’ dengan ‘Madura Ori’ yang ada di seberang sono? Salah satunya adalah gaya ‘campur sari’-nya.

Bagi sampeyan yang ingin berpergian ke daerah ‘Tapal Kuda’ dan bisanya hanya berbahasa Jawa, jangan khawatir orang sana akan mencampakkan omongan sampeyan karena tak dimengerti. Sebab orang ‘Tapal Kuda’ pun juga menggunakan bahasa Jawa, meski dengan gaya bahasa Jawa tersendiri yang dicampur aduk.

Itulah ‘Madura Tapal Kuda’ atau ‘Pendalungan’. Madura dengan wilayah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Majapahit Timur pada zaman Arya Wiraraja.

Nah, bagaimana dengan persamaannya? Ya, keduanya sama saja.

Ada ‘Karapan Sapi’. Ada orang yang tiap ngomong selalu berteriak-teriak macam orang marah. Ada deretan pesantren–bahkan dalam satu desa ada tiga sampai empat pesantren. Ada clurit dan ‘Carok’. Sebaiknya Anda jangan coba-coba nyolek istri orang sana, karena untuk kasus ‘Carok’, tak ada Madura yang “swasta”.

Selain itu, ada pula “agama” Nadlatul Ulama (NU).

Lho gimana?

Bagi orang Madura, NU itu bukan sekadar organisasi atau kelompok yang diketuai Gus Said. NU sudah mendarah daging dan dianggap semacam sub judul dari agama Islam yang juga memiliki kedudukan sama tinggi dengan Islam itu sendiri. NU dengan Islam, bagi orang Madura, tak ubahnya Romeo dan Juliet, atau Mas Anang dengan Mbak Ashanty.

Maka jangan heran ketika orang yang sangat dihormati di dalam NU, lalu ia menjadi presiden dan dilengserkan begitu saja, pohon-pohon asam di sepanjang jalan di Situbondo akan ditumbangkan sebagai bentuk protes. Dan ribuan orang ‘Tapal Kuda’ pun akan bergegas menyerbu Jakarta. Itulah orang-orang NU Madura.

Anda kira kenapa almarhum Gus Dur mengambil menantu orang Madura dari Probolinggo? Tentu karena beliau sangat paham bagaimana loyalitasnya orang Madura.

Jadi, bagi sampeyan mbak-mbak muslimah yang masih jomblo dan ingin punya pria setia, segeralah cari orang Madura. Karena selain sebagian besar dari mereka adalah santri, pria Madura juga menawarkan sensasi liar lewat ramuan obat kuat yang terkenal itu, lho. Satu hal lagi: para pria Madura itu rajin menabung demi mewujudkan cita-citanya untuk naik haji.

Ya, naik haji memang cita-cita Madura kebanyakan, entah itu yang konon ‘Madura Swasta’ maupun yang ori.

Sebelum menutup tulisan ini, berikut dua hal lain yang perlu Anda ingat ketika berbincang dengan orang Madura:

Pertama, jangan pernah sekali-kali menanyakan warna hijau kepada orang Madura karena warna itu memang tak dikenal oleh mereka. Dan kedua, jangan pernah pula tanyakan mengapa di Madura tak pernah ada Taman Kanak-Kanak. Karena apa?

Karena yang ada hanyalah Taman Nak-kanak.

Terakhir diperbarui pada 2 Januari 2019 oleh

Tags: carokMaduraTapal Kuda
Iklan
Kim Al Ghozali

Kim Al Ghozali

Artikel Terkait

Tinggalkan kuliah meski tinggal skripsi demi jadi penjaga Warung Madura di Surabaya MOJOK.CO
Ragam

Tinggalkan Skripsi demi Jadi Penjaga Warung Madura, Cuannya bikin Gelar Sarjana Terasa Tak Guna

5 Juni 2025
Apakah Madura dan Jembatan Suramadu (Sudah) Roboh? MOJOK.CO
Esai

Jembatan Suramadu Memang Harus “Roboh” demi Rakyat Madura yang Selalu Dianggap Sumber Masalah bagi Banyak Orang

20 Maret 2025
Orang Madura di Jogja tantang carok orang Papua yang berulah di warung Madura MOJOK.CO
Aktual

Kala Orang Madura Menantang Carok Orang Papua di Jogja, Bukti Prinsip Carok Dulu dan Kini Sudah Berbeda?

10 Februari 2025
Suara Hati Orang Madura yang Didiskriminasi di Surabaya, Tapi Lebih Dihargai Orang Jogja.MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Orang Madura yang Didiskriminasi di Surabaya, Tapi Lebih Dihargai Orang Jogja

5 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Menjadi Selingkuhan yang Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya

Menjadi Selingkuhan yang Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya

Tinggalkan Komentar




Terpopuler Sepekan

Raja Ampat, Amazon Laut Papua Rusak karena Tambang Nikel MOJOK.CO

Anak Muda Raja Ampat Menantang Tambang Nikel: Ketika Tambang Nikel Merusak Amazon Laut Milik Rakyat Dunia

5 Juni 2025
UMKM “Tumbal” Pemerintah Indonesia yang Nggak Becus Kerja MOJOK.CO

UMKM Tulang Punggung Ekonomi Adalah Jargon yang Bikin Saya Muak karena Menjadi Wujud Kegagalan Pemerintah Menyediakan Lapangan Kerja

6 Juni 2025
Universitas Brawijaya (UB) Malang.MOJOK.CO

Ditolak UB dan Terpaksa Kuliah di Kampus Tak Terkenal, Kini Malah Sukses: Dapat Kerja Gaji Dua Digit setelah Ratusan Lamaran Ditolak

11 Juni 2025
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah UNY terancam DO. MOJOK.CO

Nyaris Drop Out karena Terhambat Profesor yang Menyebalkan Saat Skripsi, Akhirnya Raih Gelar S1 Ilmu Sejarah di Semester 14

10 Juni 2025
Netfix Hadirkan Losmen Bu Broto: Wulan Guritno Hadir dengan  Cinta yang Pelik MOJOK.CO

Netflix Hadirkan Losmen Bu Broto: Wulan Guritno Datang dengan Cinta yang Pelik

7 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.